Padepokan "GADUNGMERAH" Virtual

Padepokan Ini Telah Berubah Menjadi www.padepokanvirtual.com

  • Goresan Maward

  • Arsip Goresan

  • Almanak

    March 2009
    M T W T F S S
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    3031  
  • Meta

Archive for March, 2009

Mengapa Cendikiawan Muslim Takut Poligami?

Posted by seq13 on March 23, 2009

Jumat, 2007 Oktober 26

“Sepatutnya kita mendukung pengetatan praktik poligami. Karena dengan begitu, kita bukan hanya melindngi kaum perempuan, tapi juga tidak kurang pentingnya dapat lebih punya peluang untuk mewujudkan keluarga sakinah yang mudah-mudahan penuh mawaddah wa rahmah.”

Kutipan di atas merupakan pernyataan cendikiawan muslim Indonesia, Prof. Dr. Azyu Mardi Azrah, Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta, yang ditulis pada harian Republika, 25/10/2007, dalam rubrik Resonansi. Setelah membaca tanggapan Azyu Mardi terhadap pembicaraan Pak Surono, di Jerman—sesuai yang diceritakan dalam Resonansi terrsebut—yang menyampaikan unek-uneknya kepada Azyu Mardi, ketika bertemu di salah satu tempat, di Jerman, saya “kaget” dan tidak menyangka, bahwa penulis memiliki pandangan sama dengan Pak Surono.

Pak Surono salah seorang yang kurang setuju dengan konsep poligami yang ada dalam Islam, dengan alasan poligami dapat “menelantarkan” istri-istri, dan tidak dapat berlaku adil, sehingga menjauhkan diri dari ridha-Nya. Pak Surono, mungkin yang lainnya juga, boleh berpendapat bagaimana pun terhadap konsep poligami. Pendapatnya itu, sudah barang tentu, dipengaruhi juga dengan wawasan dan pengetahuannya terhadap konsep poligami yang hakiki dalam Islam, maupun ajaran agama lain. Sehingga, Prof. Dr. Azyu Mardi Azra pun, yang memiliki wawasan luas dan pengetahuan dalam tentang studi Islam, memiliki pandangan sama—sebagaimana pernyataannya di atas tersebut. Mengapa alasan Azyu Mardi hampir mirip dengan pandangan Pak Surono, semestinya yang saya inginkan, ia lebih argumentatif dan substansialis sesuai dengan ajaran agama.

Poligami mengapa diperbolehkan oleh Allah SWT? Semua pernyataan Allah yang termaktub, terutama, dalam Al-Qur’an memiliki makna dalam, bukan hanya sekedar karena alasan sebagaimana yang dipahami oleh manusia seperti sekarang ini. Kalau pernyataan Tuhan adalah tidak memiliki filosofi yang cukup dalam, tentu saya akan menjadi orang pertama yang “protes” dan mengkritik Tuhan. Padahal tidak demikian. Dasar Poligami maupun pernikahan dilakukan, pada dasarnya, adalah untuk meningkatkan nilai-nilai spiritual dalam diri manusia, bukan hanya untuk kenikmatan semata (hedonis). Dari konteks ini, para nabi, para rasul, dan para guru-guru yang memiliki kualifikasi keilmuan hakikat sejati diri yang luhur, melalukan pernikahan dan poligami kalau dipandang perlu. Bahkan, dalam ajaran kejawen, seperti yang telah disampaikan oleh para pujangga masa lalu dalam tulisannya berbentuk serat—contohnya Serat Centini—menjelaskan tentang misi dan visi dari pernikahan, sehingga dapat mengaktualisasikan diri sejatinya yang hakiki, dengan sebutan “manunggaling kawula gusti”.

Ibnu Araby, sebagai syeikh sufi kenamaan di dunia Muslim, berpendapat demikian, bahwa tujuan pernikahan adalah untuk menemukan sejati dirinya yang hakiki, atau dalam bahasa literaturnya, “aku menemukan Tuhan dalam diri perempuan.” Pendapat ini yang dikutip oleh Sachiko Murata dalam bukunya, The Tao of Islam, adalah puncak dari penghayatannya yang terdalam dari jiwa Ibnu Araby. Dan, para guru suci, tidak jauh dengan Ibnu Araby berpendapat yang sama. Mereka memiliki juklah dan juknis, bagaimana menemukan Tuhan dalam diri perempuan. Perempuan menjadi lokus bagi peningkatan spiritual seorang lelaki, dan dengan sendirinya seorang perempuan mendapatkan pencerahan spiritual dari suami yang memiliki keilmuan hakikat sejati diri manusia yang abadi.

Dari pemikiran ini juga, mengapa Tuhan memperbolehkan hamba-Nya berpoligami. Wanita-wanita yang bekualitas—karena bobot, bibit, bebet yang tinggi—menjadi dambaan para lelaki yang mengenal ketuhanan dengan sempurna. Ciri-ciri wanita shaleha, adalah pertama, shidiq. Seorang istri harus jujur terhadap suaminya, sehingga menjadi buaian spiritual yang luhur akan mengkristal dalam diri istri. Kedua, amanah. Ia harus dapat dipercaya oleh suaminya, dan pandai menyimpan rahasia yang menjadi rahasia suaminya, begitu juga dengan hal-hal lain yang harus dipegang secara amanah oleh istri. Ketiga, tablig. Seorang istri tidak boleh menyimpan suatu rahasia tertentu dalam dirinya, kecuali suaminya mengetahui, sekalipun rahasia tersebut sebesar lubang jarum. Bagaimana seorang istri menyimpan rahasia dari pengetahuan suaminya, sementara istri ialah rahasia diri seorang suami. Keempat, fathanah. Seorang istri hendaknya cerdik dalam memahami pikiran dan keinginan suami. Setelah sifat empat ini ada dalam diri istri, maka suami harus dihiasi dengan dua sifat utama, yaitu pertama, qahar dan kedua, muhit. Dengan kedua sifat ini yang merupakan kewajiban suami memiliki keilmuan hakiat diri manusia yang paripurna, dan memiliki kekuatan yang tinggi bagi mengayuh bahtera rumah tangga dalam rangka mengenal eksistensi Tuhan sebagai rahasia diri orang-orang beriman. Nah, siapakah perempuan dan lelaki yang memiliki sifat di atas?

Sekalipun seorang suami memiliki dua sifat tersebut, tetapi istrinya tidak memiliki keempat sifat itu, maka cukup sulit bagi suami untuk meningkatkan spiritual secara optimal, begitu juga sebaliknya bagi istri yang memiliki kedua sifat tersebut, sedangkan suaminya tidak disifati dua sifat itu. Dalam rangka mencari sifat yang sempurna itulah, mengapa suami berilmu menikah lebih dari satu, bahkan sampai empat. Saya pernah mendengar langsung, bahwa ada seorang kyai bertutur kepada para jama’ahnya, dalam sebuah acara Majelis Ta’lim, “saya ini, hadirin semua, tidak memiliki harta yang cukup, hanya empat “petak” sajalah saya dikasih harta oleh mertua”, apa empat petak itu celetuk seorang jama’ah, “empat petak itu, adalah empat istri”, dan alhamduliiah dengan keempat istri saya dapat memberikan bantuan dan menjalankan dakwah seperti ini, tegas kyai. Itulah salah contoh sederhana dari para aktifis poligami.

Dalam teks keagamaan, misalnya, mengapa nabi bersabda, “wahai pemuda, kalau engkau ingin kaya, maka menikahlah”, tegas nabi. Seorang teman berkata, itu kan yang dimaksud dengan kaya dalam hadits tersebut, adalah kaya hati. Bukan hati saja, tetapi kaya dengan materi, tegas saya kepadanya. Tapi, permasalahan yang harus diketahui oleh kita, pernikahan yang bagaimana—dimaksud oleh nabi—sehingga dapat menjadi kaya. Begitu juga dalam hadits lain, Muhammad SAW. berkata; “aku senang dengan umatku yang banyak keturunannya.” Tentu pernyataan nabi tidak hanya sekedar ucapan biasa, namun perkataan itu merupakan ungkapan wahyu yang benar dan dapat dibutkikan kebenarannya oleh kasat mata, tapi hanya beberapa orang saja yang dapat membuktikan kebenarang perkataan nabi dengan kasat mata.

Oleh karena itu, saya mengajak para pembaca, mari mengkaji konsep poligami secara komprehensif, dan tingkatkan nilai-nilai spiritual yang ada dalam setiap diri. Tanpa peningkatan spiritual, hidup ini tidak akan berarti. Temuilah “kemanusianmu” yang menjadi rahasia dirimu semenjak zaman ajali. Temuilah para guru suci untuk menerangkan hikmah dari sebuah pernikahan. Temukan guru sejati bagi mengungkap harta yang terpendam dalam diri. Mengapa cendikiawan muslim takut poligami?

Posted in Uncategorized | Tagged: | Leave a Comment »

Syahadat Khulafaur Rasyidin

Posted by seq13 on March 23, 2009

Rabu, 2009 Februari 11

“Syahadat kumaha, jang?” (syahadat bagaimana, dek?). Pertanyaan itu dilontarkan kepada saya, ketika bersilaturahmi dengan salah satu inohong di tataran Sunda. Beberapa menit saya terdiam, mencermati pertanyaan sederhana tersebut. Mengapa pertanyaan itu keluar dari mulut sang inohong, pikir saya dalam hati. Bukankah semua orang telah tahu, bagaimana mengucapkan syahadat? Tegas saya dalam hati lagi. Belum dijawab oleh saya, atas pertanyaan itu. Ia menerangkan, bahwa yang dimaksud kata dari “syahadat”, bukanlah bagaimana kalimat syahadat diucapkan, melainkan kata “syahadat” di sini, ialah merupakan kata sunda, yang terdiri dari dua kata, yaitu “syaha” dan “dat”. Syaha (tanpa huruf “y”) dalam arti bahasa Sunda, adalah “siapa”, sedangkan “dat” (maksudnya ialah “dzat”). Jadi “sahadat” ialah “siapakah dzat itu?”. Esensi dari syahadat, tuturnya lagi, bagaimana seseorang mengetahui dengan pasti terhadap eksistensi Tuhan. Bukan sekedar pandai mengucapkan kalimat syahadat. Semua orang, tanpa melihat agama, dan umur, dapat mengucapkan kalimat tersebut, bahkan terkadang sekarang ini, anak-anak yang belajar di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) fasih dalam mengucapkan dua kalimat syahadat daripada orang-orang yang telah berumur. Dan ironisnya lagi, burung beo pun pandai mengucapkan kalimat syahadat, tapi tidak mengetahui terhadap makna yang diucapkannya.

Ketidakpahaman terhadap makna syahadat, bukan dialami oleh beberapa orang saja, tetapi sebagian besar Muslim, belum “sempurna” dalam memahami kalimat syahadat. Ketidaksempurnaan ini, mungkin, didasarkan oleh beberapa faktor. Pertama, sudah merasa bahwa dengan mengucapkan an sich dua kalimat syahadat, berarti telah selesai bersyadahat. Kedua, para da’i tidak menjelaskan lebih lanjut terhadap urgennya memahamai kalimat syahadat. Ketiga, informasi hakikat syahadat tidak disampaikan dengan sempurna oleh para da’i, dikarenakan “keterbatasan” informasi.

Faktor pertama menimpa pikiran masyarakat, karena mereka tidak memliki dorongan kuat untuk mengetahui lebih jauh terhadap wawasan dan ilmu keberagamaannya. Untuk mencairkan kebekuan minat mengetahui sesuautu (terutama makna syahadat) dalam benak pikiran masyarakat, para motivator (dai) harus meningkatkan volume materi ceramahnya tentang makna syahadat, dan menguak kisi-kisi kalimat syahadat dengan “pernak perniknya”, sehingga menarik masyarakat untuk mengetahui lebih dalam terhadap “kesyahadatannya”. Faktor kedua, dituntut para dai menuntaskan berbagai tema ceramahnya dengan komfrehensif dan menyentuh pranata hakikat keberagamaan manusia. Tanpa menyentuh ranah hakikatnya, keberagamaan seseorang akan terasa “hambar”, bagaikan masakan tanpa bumbu penyedap. Dan faktor ketiga, mayoritas para “penceramah”, memang, belum memiliki kesempatan menyampaikan informasi hakikat syahadat, karena keterbatasan situasi dan kondisi. Berdasarkan pemikiran itu, saya mencoba mengurai benang kusut tersebut, sekalipun hanya sekedar “sentilan” saja, semoga memberikan dorongan terhadap masyarakat untuk meningkatkan kembali nilai-nilai keberagamaan dalam setiap dirinya.

Dua kalimat syahadat dalam terjemahan umumnya (bahasa), yaitu: “Aku bersaksi, bahwasannya tiada Tuhan kecuali Allah. Dan Aku bersaksi, bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah.” Syahadat ini, pada hakikatnya, merupakan dialog antara Allah SWT. dan Muhammad SAW. yang ilustrasi singkatnya—sering disampaikan dalam hikmah Isra-Mi´raj—seperti ini; ketika Nabi Muhammad SAW. telah sampai di akhir perjalanan Isra-Mi´raj, Jibril as. mempersilahkan Sayyidina Muhammad SAW. untuk masuk ke sebuah “ruangan”, dan Jibril as. sendiri tidak sanggup untuk masuk ke ruangan tersebut, hanya dapat mengantarkan di depan pintunya. Setelah masuk ke ruangan, Sayyidina Muhammad SAW. tidak menemukan apa-apa, kemudian—setelah beberapa saat menunggu—Sayyidina Muhammad SAW. mengucapkan salam (salam ini sering dipakai dalam shalat), “Selamat yang berkah, yang bersambung (shalawat) dengan penuh kebaikan, semuanya tertuju bagi Allah.” Dari dalam menjawab (para Malaikat), “Selamat kepadamu, wahai penyampai berita, dan rahmat-Nya serta keberkahan-Nya. Dan selamat kepada hamba-hambamu yang shaleh.” Kemudian Nabi Muhammad SAW. melihat “cahaya yang besar” dari dalam ruangan, mendekati dirinya, dan seketika Nabi Muhammad SAW. mengucapkan; “Aku bersaksi (wahai Allah), bahwasannya tiada Tuhan kecuali Allah.” Cahaya besar itu menjawab, “Aku bersaksi (wahai Muhamamd), bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah.”

Melihat kronologi pengucapan dua kalimat syahadat itu, jelas bagi kita, syahadat diucapkan secara dialog. Nah, muncul sebuah pertanyaan, mengapa dalam bersyahadat—utamanya ketika shalat—yang bersyahadat hanyalah kita seorang, ke mana yang lainnya? Alangkah “gagahnya” dan “beraninya” kita mengucapkan dua kalimat syahadat dalam satu waktu bersamaan, tanpa menyertakan yang lainnya, sebagai “parner” dalam dialog. Hendaknya menjadi bahan renungan bagi kita, sampai sejauh mana kita mengetahui kedudukan dua kalimat syahadat tersebut.

Makna Syahadat
Esensi yang harus diketahui oleh setiap diri kita terhadap makna syahadat, yaitu dalam kalimat Lâ iLâha illâ Allâh, dan Muhammad Rasûlullâh. Lâ kata nafi (peniadaan) untuk meniadakan makna kata Ilâha (Tuhan), sedangkan illâ adalah kata itsbât (penetapan) untuk menetapkan makna kata Allâh. Sebelum meniadakan Tuhan, maka kita harus mengadakan dahulu (memaujûdkan) Tuhan, setelah maujûd, maka kita dapat menetapkan (yang benar), yaitu hanyalah Allâh.

Bagaimana untuk meniadakan? Pertanyaan ini adalah sederhana, tapi dalam maknanya. Sederhana, artinya setiap orang dapat mengajukan pertanyaan ini dengan mudah, sementara dalam maknanya, artinya diperlukan sebuah pemahaman yang luas terhadap juklak dan juknis dalam “merealisasikan” kata tauhid tersebut. Tauhid bukan sekedar kalimat yang cukup hanya diucapkan, tetapi diperlukan sebuah aplikasi yang langsung terkoneksi dengan diri manusia, sehingga dapat merasakan “keni’matan”
dari sebuah “tauhid”. Mengapa demikian? Semua orang dapat menjelaskan makna dari kalimat tauhid dengan luas wawasannya, tapi tidak semua orang dapat mengaktualisasikannya sesuai dengan ilmu hakikat sejati insan. Siapakah yang telah mempunyai “juklak” dan “juknis” tauhid?

Untuk mengenal eksistensi Tuhan, agar dapat menafikan-Nya, dalam rangka menetapkan Yang Benar, harus memasuki gerbang utama keilmuan tauhid, yaitu ilmu kenal diri. Bagaimana bisa mengenal Tuhan, sedangkan dirinya saja tidak dikenalnya dengan sempurna. Tanpa mengenal dirinya, terlebih dahulu, tak satu orang pun dapat mengenal Tuhan dengan sempurna. “Barangsiapa telah mengenal dirinya, maka ia sesungguhnya telah mengenal Tuhannya.” Demikian tegas Nabi Muhammad SAW. Makna “Tuhan”, sementara ini, senantiasa diartikan tidak sesuai dengan “Tuhan” yang dimaksud oleh kalimat tauhid. Oleh karenanya, kita sering mendengar kata-kata, misalnya; “uang adalah tuhan baginya,” “kemajuan materi telah dijadikannya sebagai tuhannya.” Kata-kata seperti ini, tidaklah pantas keluar dari lidah seseorang yang dianggap sebagai panutan masyarakat dalam keberagamaan. Tuhan bukanlah seperti yang dipersepsikan selama ini oleh mayoritas orang. Tuhan adalah eksistensi-substansialis yang absolut kebenarannya. Untuk menyingkap keberadaan Tuhan ini, diperlukan sebuah keterbukaan hati yang lembut dan penuh ketawaduan. Hati-hati yang keras tidak akan menerima eksistensi yang lembut ini. Kalau sudah mengenal Tuhannya, maka dengan sendirinya, ia akan mengenal Allahnya. Temukanlah Tuhanmu, maka Allahmu akan “maujûd” dalam mata kebijaksanaanmu.

Sedangkan kalimat Muhammad Rasûlullâh, mesti diketahui juga makna hakikinya, tidak sekedar makna parsial yang sementara ini kita pahami. Hakikat makna Muhammad bukan yang berada di luar; yang merupakan produk sejarah, melainkan harus dicari hakikat Muhammad yang ada dalam diri setiap manusia. Muhammad diutus bukan untuk di masyarakat Arab saja, melainkan Muhammad diutus untuk semua manusia di muka bumi ini, tanpa membedakan identitas bangsa, ras, suku, bahkan agama. “[Wahai Muhammad], Aku tidak mengutus engkau, kecuali untuk semua manusia. Engkau bertugas menyampaikan kabar gembira, dan kabar takut.” Begitulah bunyi dari firman Allah dalam Al-Qur’an. Dengan menerima konsep ini, seseorang dapat “berjumpa” dengannya, kapan dan di mana saja berada. Karena ia menjadi “insan terpujinya”, yang memberikan petunjuk terhadap jalan yang benar, dan memberikan peringatan kepada jalan yang tidak diridhainya. Sudahkah kita menemukan Muhammad yang ada dalam diri kita?

Syahadat Para Khalifah
Dengan memahami hakikat kalimat tauhid, Lâ iLâha illâ Allâh, Muhammad Rasûlullâh, dengan benar dan tepat, Khulafâur Râsyidîn dapat merealisasikan dan mengaktualisasikannya dalam gerak dan langkahnya. Abu Bakar Shidiq ra., mengatakan; aku tidak mengerjakan sesuatu, kecuali sebelum melakukan sesuatu aku melihat-Nya. Artinya, sebelum melakukan sebuah pekerjaan apa saja, di mana saja, dan kapan saja, Abu Bakar Shidiq ra. melihat terlebih dahulu Sang Kekasih, buah hatinya. Setelah melihat-Nya, dan mengizinkan untuk bekerja, ia mulai melaksanakan pekerjaan. Begitulah Abu Bakar Shidiq dalam bersyahadat sepanjang hayatnya. Dan, Umar bin Khatab ra. berbeda dengan Abu Bakar Shidiq ra., ia mengatakan; aku tidak mengerjakan sesuatu, kecuali setelah melakukan pekerjaan aku melihat-Nya. Maknanya, setelah menyelesaikan sebuah pekerjaan, Umar bin Khatab ra. melihat pujaan hatinya, dengan “mata” hikmahnya. Sedangkan, Utsman bin Affan ra. berkata; aku tidak mengerjakan sesuatu, kecuali aku bersama-Nya melaksanakan sebuah pekerjaan. Artinya, Utsman bin Affan ra. bersama-sama dengan “shahabat sejatinya” menyelesaikan pekerjaan. Tidak pernah terlepas dalam satu detik pun. Baginya kebersamaan, adalah bagaikan “gula” dan “manisnya”. Sementara, Ali bin Thalib kw. mengatakan; aku tidak mengerjakan sesuatu, kecuali aku melihat di dalam-Nya. Artinya, dalam melaksanakan pekerjaan, Ali bin Thalib melihat di dalamnya. Demikianlah syahadat yang direalisasikan oleh para shahabat Rasulullah SAW., dalam setiap pekerjaannya.

Kemampuan bersyahadat para shahabat tersebut, tentunya, harus dituruti oleh kita semua, sehingga syahadatnya terimplementasikan secara riil, bukan masih dalam tataran wacana saja. Semua orang pandai berbicara dalam konsep, namun dalam aplikasinya, masih sedikit orang yang mampu mengerjakannya. Siapakah orang-orang yang sedikit ini?

Bersyahadat (menyaksikan), sudah jelas, dengan “mata” bukan dengan panca indera lainnya. Namun mata yang mana yang mesti dipakai dalam bersyahadat dalam konteks ini? Tidak semua mata dapat melihat terhadap suatu obyek dengan jelas, hanya mata-mata yang terlatih yang dapat melihat sesuatu yang terlihat (´ainul bashîrah). Eksistensi Tuhan bersembunyi dalam maut, sedangkan eksistensi Muhammad sejati bersembunyi dalam terang. Kenalilah kematianmu, sehingga mengenal Tuhanmu, dan latihlah mata penglihatanmu, sehingga dapat memandang sesuatu yang terang dalam cahaya yang terang.
*Artikel ini telah dipublikasikan di harian PELITA, dalam rubrik OPINI, pada tanggal 10 November 2007.

Posted in HUMANISME | 2 Comments »

OKP “Ga” Berdaya

Posted by seq13 on March 23, 2009

OKP, Organisasi Kemasyarakat Pemuda, dalam dekade terakhir ini, tidak terasa geliatnya oleh lapisan pemuda. OKP hanya disibukkan dengan kegiatan ceremonial daripada kegiatan yang lebih kongkrit. OKP harus lebih dinamis lagi dalam menata keorganisasiannya, sebagaimana yang telah terjadi dalam panggung sejarah. Majulah OKP, masyarakat menantimu. (Abu Ahmadein)

Posted in NEWS | Leave a Comment »

KAU, Akhirnya Ku Temukan Jua!

Posted by seq13 on March 23, 2009

Selasa, 2007 Oktober 30

Kerinduan akan sahabat karib
yang telah menemani dalam suka dan duka
semakin menggelora dalam relung kebaqaan.
Hari demi hari,
waktu demi waktu,
aku mencari sejati diri-Mu
menanti itulah awal dan akhir dari pengharapan
Tanpa kuduga,
harapan besar yang terpendam
akhirnya berjumpa dengan KEKASIHku, belaian jiwaku.
pertemuan singkat ini
hanya dilakukan karena kecintaan GURU SUCI pada diri sejatiku.

Awal dan akhir dari perjumpaan ini
akan menjadi pengalaman emas bagi perjalanan batinku
aku telah menggoresnya dengan tinta kemuliaan
yang mengalir dari sungai keabadian.
Tak ada kata dan bahasa
yang dapat ku ucapkan
hanya syukur dan syukur itulah detikan yang menbasahi lidah kecilku.

Awal perjumpaan
senantiasa aku kenang di mana dan kapan saja
tak mengenal waktu dan ruang
Engkau terjaga dari pandanganku.
Walaupun satu detik
Engkau hilang dari pandanganku
berarti telah mati kedalaman batinku.
Sekalipun bom dunia menenggelamkan wujudku
engkau tiada hilang dari pandanganku
engkau permata yang telah kutemukan kembali
setelah lama berpisah
untuk menjalankan sunantullah
dan akhirnya
Engkau berkunjung jua kehadiratku.

LA, 30/10/2007 M. / 19 Syawwal 1428 H.

Posted in SYAIR | Leave a Comment »

STOP SESAT!!!

Posted by seq13 on March 23, 2009

Senin, 2007 Oktober 29

Sesat,
itulah kata yang bergulir di masyarakat
pernahkah Nabi menyesatkan seseorang/kelompok?
tak habis pikir
mengapa penyesatan sebegitu mudah dikatakan
penyesatan awal dari kehancuran kepercayaan manusia
Para nabi, utusan, bahkan Tuhan, tak pernah menyesatkan manusia.
alangkah sombongnya manusia menyesatkan manusia
hikmah apa yang terpendam dalam dirinya
hingga berani menyesatkan?

Sesat,
awal dan akhir dari sebuah perjalanan
tak ada yang maju dalam hidup
kecuali berani menantang penyesatan
para arif billah
telah menjadi makanan hariannya
dalam menyantap penyesatan
Seorang tidak akan sampai
pada derajat kebenaran
kecuali seribu orang yang benar mengatakan ENGKAU SESAT.

Sesat,
Stop perkataan sesat
tataplah dinamika kehidupan dengan kearifan
tebarkan rasa cinta dalam diri
melalui cinta kedamaian di dunia akan tumbuh
melalui cinta kita dapat menuia kebahagian
melalui cinta kata sesat akan hilang.

LA, 30/10/2007 M. – 19 Syawwal 1428 H

Posted in SYAIR | Leave a Comment »

Gurindam Sufi; Syeikh Hamzah al-Fanshuri

Posted by seq13 on March 23, 2009

Senin, 2007 September 03

Selasa, 2007 Agustus 21

Wahai segala kita anak Adam
Jangan lupa akan Shahi Alam
Pada bahr al-dhunub jangan terkaram
Supaya ashiq siang dan malam

Ashiqmu itu jangan bercawang
Meninggalkan dunia jangan kepalang
Suluh Muhammad sayogia kau pasang
Kepada Rabb al-Alamin supaya kau datang

Syariat Muhammad terlalu ‘amiq
Cahayanya terang di bayt al-‘atiq
Tandanya ghalib lagi sempurna tariq
Banyaklah kafir menjadi rafiq

Bayt al-‘atiq itulah bernama Ka’bah
Ibadat di dalamnya tiada berlelah
Tempatnya ma’lum di tanah Mekah
Akan qiblat Islam menyembah Allah

Wahai segala kita yang membawa iman
Jangan berwaktu mengaji Qur’an
Halal dan haram terlalu bayan
Jalan kepada Tuhan dalamnya ‘iyan

Qur’an itu ambil akan dalil
Pada mizan Allah supaya thaqil
Jika kau ambil syari’at akan wakil
Pada kedua alam engkaulah Jamil

Kerjakan salat lagi dan sa’im
Inilah ma’na bernama qa’im
Pada segala malam kurangkan na’im
Nafikan alam kerjakan da’im

Ukhrujkan dirimu daripada sayyi’at
Jangan taqsir mengerjakan hasanat
Tuntut olehmu hakikat salat
Supaya wasil adamu dengan Dhat

Salat itu terlalu kamal
Di dalamnya liqa lagi dan wisal
Apabila lenyaplah daripada waham dan khayal
Engkaulah sultan yang tiada bermithal

Malak al-mawt terlalu garang
Tiada berwaktu iya akan datang
Suluh Muhammad sayogia kau pasang
Supaya mudah pulang ke sarang

Hikmat dan khayal jangan kau cari
Supaya jangan menjadi ‘asi
Kerjanya itu sifat nafsani
Tiada dapat sampai kepada Rabbani

Hikmat dan khayal tinggalkan bapai
Supaya engkau jangan terlalai
Ma’rifat dan Haqiqat sayogia kau pakai
Itulah ‘amal yang tiada berbagai

Hamzah ini asalnya Fansuri
Mendapat Wujud di tanah Shahrnawi
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali
Daripada ‘Abd al-Qadir Jilani

Posted in SYAIR | Leave a Comment »

Nabi Musa Menampar Malaikat Maut?!

Posted by seq13 on March 23, 2009

Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Buchari, bahwa “telah datang kepada Nabi Musa, Malaikat Maut, bermaksud mencabut nyawanya. “Assalamu’alaikum…wahai hamba yang saleh…Musa menjawab “wa’alaikum salam…”Kami datang hendak mencabut nyawa engkau. “Siapa menyuruh engkau datang kepadaku”, tanya nabi Musa. Tuhanku yang telah mengutusku. Setelah mendengar jawaban itu, Nabi Musa langsung menampar “pipi” Malaikat Maut, dan Malaikat pun berdarah. Kemudian, tanpa menunggu waktu, Malaikat Maut kembali ke Tuhannya, dan menyampaikan kejadian yang dialaminya, mendengar laporan itu, Tuhan bertanya kembali kepada Malaikat Maut, mengapa kamu datang kepada hambaku yang saleh?”

Cuplikan dialog di atas, menggambarkan dan menuntut pikiran kita terhadap ilustrasi Malaikat Maut. Mengapa Malaikat dapat ditampar? Bagaimana bentuk Malaikat? Apakah maut dapat ditahan/dihindari? Penamparan yang dilakukan Nabi Musa membawa kita agar berpikir kembali terhadap pemikiran yang selama ini dibangun dalam benak pikiran terdalam tentang Malaikat Maut. Gambaran sederhana yang terjadi tentang Malaikat Maut, menyeramkan?!

Malaikat Maut, semenjak sekarang, harus dikenal dengan baik, sehingga ketika datang–nanti, misalkan–kita sudah mengenalnya dengan baik. Kalau sudah kenal, segala hal apapun, termasuk kematian yang merupakan tugas utamanya, dapat dinegosiasikan. Namun, celakanya sampai detik ini, sedikit yang mengetahui hakikat dari kematian, terlebih Malaikat Maut. Para ulama jarang menyampaikan informasi ini dengan tepat. Mengapa demikian? Pertama, kemungkinan seorang ustadz tidak mengetahui secara pasti terhadap eksistensi Malaikat Maut, hanya mengetahui dari cerita-cerita yang ada di kitab dan buku-buku lain. Kedua, kemungkinan seorang ustadz tidak menerima informasiyang benar tentang Malaikat Maut dari pengajaran yang diterimanya dari guru-gurunya. Ketiga, kemungkinan informasi ini hanya disampaikan pada kesempatan tertentu. Hanya orang-orang pilihan/tertentu yang dapat mengakses informasi penting ini.

Kematian tidak akan dikenal dengan benar dan tepat, tanpa menemukan seorang Guru Suci yang sering disebut sebagai MURSYID/GURU SEJATI. Dari diri-Nya, kita mengetahui secara pasti kedudukan kematian dan Malaikait Maut itu sendiri. Sudahkah Anda temukan mereka?

Kematian harus dikenal semenjak sekarang, sehingga bersahabat dengan baik. Bukankah, Nabi Muhammad bersabda, “matilah engkau, sebelum engkau mati”. Artinya, kenalilah kematian sebelum kematian itu menghampirimu. Ketika kematian datang, engkau (kita) melihatnya, namun kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Mengapa? (ikuti lanjutannya pada bagian kedua)

Posted in Uncategorized | Tagged: | Leave a Comment »

Puasa dan Rekonstruksi Diri Manusia

Posted by seq13 on March 23, 2009

Puasa yang sedang dijalankan kaum Muslimin di seantero dunia, saat ini, menjadi momentum penting bagi Muslimin untuk “meningkatkan” nilai-nilai spiritual dirinya, sebagai “media” ber”semayamnya” rahasia besar, yang telah ada semenjak ajali. Rahasia besar ini yang dinamakan dengan “amanah” yang telah ditawarkan kepada petala langit-langit dan bumi, namun keduanya menolak menerima-Nya, tidak sanggup menerima beban besar yang akan ditanggung oleh dirinya. Dan, manusia “berani” menerima “amanah” besar tersebut, tapi—dalam perjalanan selanjutnya—manusia lalai dan bodoh (tidak tahu diri).

Amanah besar tersebut, tiada lain, ialah insân terpuji (Muhammad, artinya secara linguistik adalah yang terpuji). Mengapa menjadi manah besar? IA menjadi kutub meridien dari semua prosesi peribadatan kepada Maha Bijaksana, AlLâh SWT. IA dijadikan sebagai tempat “persambungan” Tuhan dan para malaikat, serta orang-orang yang beriman. “Sesungguhnya AlLâh dan para malaikat bersambung (yushallûna) di atas nabi, hai orang-orang beriman bersambunglah kepadanya, dan serahkan dirimu sekalian dengan penyerahan yang sempurna.” Mengapa masih banyak orang meragukan eksistensi insân terpuji? Bukankah asal muasal semua kejadian berasal dari insân terpuji? “Kalaulah bukan engkau, wahai Muhammad, Aku tidak akan menciptakan kosmos ini”, demikian tegas Tuhan dalam hadits qudsi.

Definisi Puasa
Puasa diserap dari dua kata Sansekerta, yaitu “upa” = dekat dan “wasa” = berkuasa. Jadi “upawasa” biasa dilafalkan sebagai puasa, merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam bahasa Inggris “Fasting” yang diserap dari kata Jerman kuno “fastan” = menggengam. Puasa dalam bahasa Ibrani tsum, tsom dan “inna nafsyo” yang berarti merendahkan diri dengan berpuasa, sedangkan dalam bahasa Yunani = nesteuo, nestis atau asitia/asitos. Bahasa Arabnya shaum atau shiam.

Melihat etimologi puasa dari bahasa Sansekerta, artinya “dekat berkuasa”. Merefleksikan pikiran kita pada, bahwa orang yang dekat kepada-Nya pasti memiliki kekuasaan untuk melakuak suatu pekerjaan bagi peningkatan kreatifitas dan inovasi dirinya, sehingga teraktualisasikan nilai-nilai spiritual yang telah ada dalam dirinya ke dalam kampas realitas kehidupan yang membutuhkan misi dan visi yang tepat. Tiada logika yang dapat menyangkal pemikiran demikian. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana mendekatkan diri kepadanya, sehingga memiliki “kekuasaan-Nya”? Semua orang berusaha untuk mengiterpretasikan dari makna “ibadah” (mendekatkan diri kepada-Nya), sesuai dengan tingkatan intelektualnya. Tapi, hakikatnya, semua orang tersebut, adalah mencari “pendekatan” pikiran yang sesuai dengan maksud dan tujuan serta keinginan Tuhan terhadap para hamb-Nya dalam mendekatkan diri kepada-Nya.

Metode untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, terus digulirkan oleh para cendikiawan (ulama) dengan mengukil beberapa teks keagamaan; Al-Qur’an dan Hadits. Ternyata belum sampai pada pendekatan hakiki, yang sesuai dengan keinginan Tuhan. Mengapa demikian? Metode efektif dan ideal sesuai perjalanan intelektual dan pengalaman spiritualitas setiap diri manusia, adalah dengan metode pengenalan diri. Bagi orang-orang yang telah kenal dirinya, mereka kenal eksistensi Tuhannya dengan tepat, dan dapat dibuktikan serta dirasakan secara nyata, sehingga muncul sebuah keyakinan yang paripurna (haqul yakin), bahwa mereka telah dekat dengan-Nya. “Barangsiapa yang telah kenal dirinya, maka sesungguhnya ia telah kenal Tuhannya.” (Hadits Qudsi)

Kenal diri merupakan main gate bagi mendekatkan diri kepada Tuhan. Bagaimana dapat mendekatkan diri kepada-Nya, sementara diri kita sendiri tidak kenal dengan baik. Tuhan tidak bersemayam di mana-mana, seperti yang diceritakan dalam sebuah sinetron televisi, Tuhan ada di mana-mana. Tuhan hanya “bersemayam” dalam diri manusia, dan hanya hati orang berimanlah yang sanggup menerima eksistensi Sang Maha Wujûd. Kalau eksistensi ketuhanan telah dipahami berada dalam diri manusia, langkah selanjutnya untuk mendekatkan diri kepadanya, adalah menjadi sesuatu yang mudah. “Carilah segala sesuatu dalam dirimu”, demikian pernyataan seorang filosof dari Turki.

Adapun makna puasa dari bahasa Inggris, yaitu “menggenggam”. Artinya, kalau kita telah dekat dengan-Nya, maka kekuasaan-Nya dapat kita “genggam” untuk diaktualisasikan ke dalam penciptaan kreatifitas bagi pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan manusia. Bisakah manusia “menggenggam” kekuasaan-Nya? Ingat pesan Tuhan dalam hadits qudsi yang berbunyi; “Kalau Aku telah mencintai hamba-Ku, maka Aku akan menjadi matanya untuk dia melihat, menjadi tangannya untuk bekerja, dan menjadi kakinya untuk berjalan.”

Sedangkan makna puasa dari bahasa Ibrani, yaitu “merendahkan diri”. Orang-orang yang telah kenal kepada hakikat sejati dirinya/hakikat eksistensi Tuhannya, mereka akan rendah diri. Karena orang-orang bijak, lebih banyak diam dan berpikir. Diam artinya, mereka senantiasa mengingat eksistensi ketuhanannya yang telah menjadi rahasia dirinya, pada setiap gerak dan langkahnya, bermeditasi (tafakur) sepanjang masa; tidak mengenal waktu dan tempat, mereka selalu ingat kepada-Nya. Mereka tidak banyak bicara—mengurangi pembicaraan yang dapat melalaikan dirinya untuk ingat kepada-Nya—permasalahan lain, kecuali berbicara mengenai ketuhanan dan kemanusiaan. “Barangsiapa yang telah kenal Tuhannya, maka kelulah lisannya.” Oleh karena itu, mereka tidak mendapatkan ruang lagi untuk “menyombongkan dirinya”, karena telah kenal pada hakikat dirinya. Walaupun, pada dasarnya, nilai-nilai ketuhanan itu—di antaranya—Maha Sombong (mutakabbir). Mengapa orang-orang yang “belum” kenal dirinya berlaku sombong dan angkuh?

Mengapa Manusia Harus Berpuasa?
Semua ritualitas peribadatan tidak lepas dari asbab—sebagaimana setiap surat dari Al-Qur’an diturunkan berdasarkan asbab nuzul—dasar pemikiran yang menyertainya. Asbâb peribadatan dalam Islam selalu terkait dengan eksistensi diri manusia. Begitu juga, dengan puasa. Filosofi historis puasa, adalah sebelum kita lahir ke dunia, pada bulan terakhir (dalam rahim ibu), huruf-huruf ditulis dalam diri kita sebanyak 30 huruf (30 huruf ditulis selma 30 hari). Jadi, selama satu bulan (30 hari), 30 huruf ditulis dalam diri kita. Pada waktu pagi, mulai terbit fajar, bayi yang ada dalam rahim tidak menerima makanan dari flasenta, kemudian pada sore hari—terbenam matahari, waktu Maghrib—bayi mendapatkan suplai makanan kembali dari flasenta.

Begitulah, napak tilas kita, yang diaktualisasikan dalam puasa selama bulan Ramadhan. Kalau telah memahami seperti ini, setiap diri kita dalam berpuasa Ramadhan, tidak akan lagi mengharapkan pahala dari semua pekerjaan ibadah di bulan Ramadhan, karena puasa merupakan napak tilas jati diri setiap manusia. Sehingga perenungan napak tilas ini, seyogyanya dilakukan setiap saat, bukan sekedar bulan Ramadhan. Begitu juga dengan peribadatan-peribadatan lainnya, merupakan napak tilas dari perjalanan hidup kita dari lahir sampai mati, dan dari mati sampai terlahir kembali.

“Bagi yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka puasa (fithri), kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhan.” Makna hadits ini, kalau kita melihat dari perspektif lain, akan berarti—sesuai dengan pemikiran di atas sebelumnya—kata fithri (yang diartikan berbuka puasa), adalah memiliki arti juga sebagai ciptaan/citra, sesuai dengan ayat lain yang mengatakan; “AlLâh menciptakan manusia sesuai citra-Nya.” Nah, kalau kita mengartikan kata fithri dengan ciptaan, maka akan berkorelasi dengan makna puasa sebagai napak tilas ketika dituliskan 30 (tiga puluh) huruf dalam diri kita. Jadi, bagi orang yang shâim (puasa) mendapatkan kebagian, pertama ketika diciptakan (fithri), dan kebahagian kedua adalah ketika bertemu dengan Tuhannya. Bertemu dengan Tuhan bukan berarti nanti, di hari akhir, melainkan ketika bayi akan lahir, Rabbul Jalil bertanya kepada bayi, apakah Aku ini Tuhanmu? Saat itu bayi (kita semua) menjawabnya, ya…Engkau adalah Tuhanku. Demikian jelas Al-Qur’an. Dengan demikian, arti dari hadits tersebut, menemukan korelasinya dengan makna puasa sebagai napak tilas. Kebahagian ketika diciptakan dan kebahagian ketika bertemu dengan Tuhan. Bukan sebagaimana yang diartikan selama ini, yaitu kebahagian ketika berbuka puasa, dan kebahagian ketika bertemu dengan Tuhan, nanti di hari akhir. Hendaknya pemahaman terhadap puasa, ditingkatkan oleh diri kita setiap tahunnya, sehingga menemukan makna hakikat dari puasa, dan semakin mendalam penghayatan terhadap ritualitas peribadatan dalam agama Islam. Ajaran Islam memiliki makna filosofi yang dalam, dan sempurna. Tidak seperti agama lain. Karena Islam datangnya terakhir, maka kesempurnaan ajarannya, sudah dapat dipastikan adalah lebih sempurna dari agama lainnya. Namun, mengapa sebagian dari kita, masih memahami semua ajaran Islam secara parsial, dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan terhadap nilai-nilai spiritual dalam semua ajaran Islam.

Begitu juga dengan bunyi ayat Al-Qur’an, yang selalu dijadikan landasan dalam berpuasa, oleh semua kalangan, yaitu “hai orang-orang beriman telah diwajibkan terhadap engkau semua untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada umat terdahulu (sebelum engkau semua), agar kamu bertaqwa.” Dari konteks pemikiran di atas, maka ayat ini akan berbunyi—ketika diterjemahkan—sebagai berikut; “Hai orang-orang beriman, telah dituliskan (diwajibkan) terhadap engkau semua untuk merenungi terhadap napak tilas perjalanan hidupmu ketika dalam rahim ibumu, sebagaimana telah dituliskan (diwajibkan) kepada orang-orang sebelum engkau semua, [hal ini dilakukan] agar engkau semua tunduk (taqwa)/rendah diri.” Tujuan dari puasa, terakhirnya, adalah memiliki jiwa yang rendah diri, tidak angkuh, karena telah mengenal dirinya, orang-orang yang berpuasa akan tawadhu, rendah diri, menghormati terhadap semua orang, dengan penuh kasih sayang dan cinta yang keluar dari lubuk sanu barinya. Itulah harapan dari pelaksanaan puasa secara lahiriah pada bulan suci, Ramadhan.

Refleksi Puasa;
Berdasarkan konsep pemikiran, bahwa puasa adalah suatu perbuatan napak tilas terhadap perjalanan hidup, maka perbuatan puasa dapat memberikan nilai-nilai positif terhdap dimensi kehidupan dalam bernegara, bersosial, berekonomi, dan berpendidikan. Dimensi negara artinya, memberikan spirit terhadap kinerja negarawan dalam mengayuh roda pemerintahan, baik yang ada di lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan lembaga eksekutif. Kinerja ini tentunya, akan bermuarakan pada kepentingan bangsa dan negara, dan tidak akan mendorong pada kepentingan pribadi, karena jiwa puasa sebagai napak tilas menuntut semua negarawan untuk senantiasa ingat pada hakikat sejati dirinya, sebagai media ekspresi dari kekuatan dan kekuasaan Sang Maha Kuasa. Nilai-nilai normatif ini, akan mewarnai kinerja negarawan seiring meningkatnya pemahaman spiritual dalam diri setiap insan.

Carut marut kebernegaraan kita, sedikit banyak, adalah dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman yang hakiki terhadap ajaran agamanya. Secara de jure, mayoritas negarawan Muslimin, seyogyanya memberikan nuansa moral yang puritan juga, namun realitas bericara lain. Bulan Ramadhan ini, dapat dijadikan momentum untuk meningkatkan pemahaman ajaran Islam yang hakiki, sebagaimana dipahami dan dijalankan oleh para spiritualis sejati yang selalu melantunkan kalimat thayyibah, dan mengingat sejati dirinya, tempat bersemayam Tuhan Yang Esa.

Dimensi sosial, nilai-nilai puasa akan memberikan dorongan kuat terhadap kekuatan kesosialan di antara kita. Manusia diciptakan untuk senantiasa mengingatkan satu sama lainnya, terhadap misi dan visi kehidupan yang hakiki, yaitu “mengenal eksistensi diri-Nya.” Misi untuk mencapai tujuan mulia, dapat diwujudkan dengan memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap saudaranya. Bagaimana dapat dikatakan telah beriman seseorang, apabila saudaranya masih ada yang kelaparan? Kelaparan salah satu problematika kemiskinan yang sedang menimpa negeri kaya ini, Indonesia. Mari menyatupadukan misi kehidupan, bagi menggapai kesatuan di antara bangsa Indonesia.

Dimensi ekonomi, kesenjangan ekonomi terjadi dengan mencolok di berbagai lini masyarakat. Kesejanjgan dipicu oleh budaya matealistik yang mengedepankan kaum yang kuat. Merekalah yang akan menggapai kesejahteraan perekonomiannya. Sementara, para dhuafa, hanya menelan ludah saja dari kesejahteraan yang dicicipi oleh para kaum kapitalis Melayu. Melalui spirit Ramadhan, kesejahteraan perekonomian rakyat dapat ditingkatkan, sebagai wujud kepedulian terhadap kaum papa dan miskin ini, melalui pemberdayaan zakat, infaq, sedekah, serta programisasi pemberdayaan ekonomi kecil oleh pemerintah dengan mengedepankan kepentingan kecil di atas kepentingan menengah. Kedhaliman dalam ekonomi, dengan sendirinya menurun, yang ada hanyalah kemaslahatan bersama. Di bawah payung ekonomi kerakyatan, sebenarnya, Muhammad SAW. dapat mensejahterakan umatnya pada masa itu. Aktualisasi ajarannyalah yang harus dihidupkan, dan direalisasikan secara seksama.

Dimensi pendidikan, sulitnya kaum kecil mencicipi pendidikan sesuai amanah Undang-Undang Dasar 45, diharapkan terkikis oleh adanya peningkatan spiritual di setiap diri para pemegang kekuasaan khususnya, dan masyarakat yang peduli terhadap masa depan generasi bangsa, umumnya. Pendidikan bukan hanya dimulai semenjak telah lahir, melainkan semenjak dalam kandungan pun pendidikan harus telah dimulai. Bahkan, dalam ajaran hakikat diri manusia, setiap orang yang akan lahir ke dunia, sebenarnya, telah dapat “diprogram” sedemikian rupa, sehingga sesuai kualtias calon bayi merupakan “produksi” unggulan, dan dengan sendirinya, menjadi generasi bangsa yang dapat diandalkan dengan baik.

Posted in Uncategorized | Tagged: | Leave a Comment »

Mengapa Cendikiawan Muslim Takut Poligami?

Posted by seq13 on March 23, 2009

Jumat, 2007 Oktober 26

“Sepatutnya kita mendukung pengetatan praktik poligami. Karena dengan begitu, kita bukan hanya melindngi kaum perempuan, tapi juga tidak kurang pentingnya dapat lebih punya peluang untuk mewujudkan keluarga sakinah yang mudah-mudahan penuh mawaddah wa rahmah.”

Kutipan di atas merupakan pernyataan cendikiawan muslim Indonesia, Prof. Dr. Azyu Mardi Azrah, Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta, yang ditulis pada harian Republika, 25/10/2007, dalam rubrik Resonansi. Setelah membaca tanggapan Azyu Mardi terhadap pembicaraan Pak Surono, di Jerman—sesuai yang diceritakan dalam Resonansi terrsebut—yang menyampaikan unek-uneknya kepada Azyu Mardi, ketika bertemu di salah satu tempat, di Jerman, saya “kaget” dan tidak menyangka, bahwa penulis memiliki pandangan sama dengan Pak Surono.

Pak Surono salah seorang yang kurang setuju dengan konsep poligami yang ada dalam Islam, dengan alasan poligami dapat “menelantarkan” istri-istri, dan tidak dapat berlaku adil, sehingga menjauhkan diri dari ridha-Nya. Pak Surono, mungkin yang lainnya juga, boleh berpendapat bagaimana pun terhadap konsep poligami. Pendapatnya itu, sudah barang tentu, dipengaruhi juga dengan wawasan dan pengetahuannya terhadap konsep poligami yang hakiki dalam Islam, maupun ajaran agama lain. Sehingga, Prof. Dr. Azyu Mardi Azra pun, yang memiliki wawasan luas dan pengetahuan dalam tentang studi Islam, memiliki pandangan sama—sebagaimana pernyataannya di atas tersebut. Mengapa alasan Azyu Mardi hampir mirip dengan pandangan Pak Surono, semestinya yang saya inginkan, ia lebih argumentatif dan substansialis sesuai dengan ajaran agama.

Poligami mengapa diperbolehkan oleh Allah SWT? Semua pernyataan Allah yang termaktub, terutama, dalam Al-Qur’an memiliki makna dalam, bukan hanya sekedar karena alasan sebagaimana yang dipahami oleh manusia seperti sekarang ini. Kalau pernyataan Tuhan adalah tidak memiliki filosofi yang cukup dalam, tentu saya akan menjadi orang pertama yang “protes” dan mengkritik Tuhan. Padahal tidak demikian. Dasar Poligami maupun pernikahan dilakukan, pada dasarnya, adalah untuk meningkatkan nilai-nilai spiritual dalam diri manusia, bukan hanya untuk kenikmatan semata (hedonis). Dari konteks ini, para nabi, para rasul, dan para guru-guru yang memiliki kualifikasi keilmuan hakikat sejati diri yang luhur, melalukan pernikahan dan poligami kalau dipandang perlu. Bahkan, dalam ajaran kejawen, seperti yang telah disampaikan oleh para pujangga masa lalu dalam tulisannya berbentuk serat—contohnya Serat Centini—menjelaskan tentang misi dan visi dari pernikahan, sehingga dapat mengaktualisasikan diri sejatinya yang hakiki, dengan sebutan “manunggaling kawula gusti”.

Ibnu Araby, sebagai syeikh sufi kenamaan di dunia Muslim, berpendapat demikian, bahwa tujuan pernikahan adalah untuk menemukan sejati dirinya yang hakiki, atau dalam bahasa literaturnya, “aku menemukan Tuhan dalam diri perempuan.” Pendapat ini yang dikutip oleh Sachiko Murata dalam bukunya, The Tao of Islam, adalah puncak dari penghayatannya yang terdalam dari jiwa Ibnu Araby. Dan, para guru suci, tidak jauh dengan Ibnu Araby berpendapat yang sama. Mereka memiliki juklah dan juknis, bagaimana menemukan Tuhan dalam diri perempuan. Perempuan menjadi lokus bagi peningkatan spiritual seorang lelaki, dan dengan sendirinya seorang perempuan mendapatkan pencerahan spiritual dari suami yang memiliki keilmuan hakikat sejati diri manusia yang abadi.

Dari pemikiran ini juga, mengapa Tuhan memperbolehkan hamba-Nya berpoligami. Wanita-wanita yang bekualitas—karena bobot, bibit, bebet yang tinggi—menjadi dambaan para lelaki yang mengenal ketuhanan dengan sempurna. Ciri-ciri wanita shaleha, adalah pertama, shidiq. Seorang istri harus jujur terhadap suaminya, sehingga menjadi buaian spiritual yang luhur akan mengkristal dalam diri istri. Kedua, amanah. Ia harus dapat dipercaya oleh suaminya, dan pandai menyimpan rahasia yang menjadi rahasia suaminya, begitu juga dengan hal-hal lain yang harus dipegang secara amanah oleh istri. Ketiga, tablig. Seorang istri tidak boleh menyimpan suatu rahasia tertentu dalam dirinya, kecuali suaminya mengetahui, sekalipun rahasia tersebut sebesar lubang jarum. Bagaimana seorang istri menyimpan rahasia dari pengetahuan suaminya, sementara istri ialah rahasia diri seorang suami. Keempat, fathanah. Seorang istri hendaknya cerdik dalam memahami pikiran dan keinginan suami. Setelah sifat empat ini ada dalam diri istri, maka suami harus dihiasi dengan dua sifat utama, yaitu pertama, qahar dan kedua, muhit. Dengan kedua sifat ini yang merupakan kewajiban suami memiliki keilmuan hakiat diri manusia yang paripurna, dan memiliki kekuatan yang tinggi bagi mengayuh bahtera rumah tangga dalam rangka mengenal eksistensi Tuhan sebagai rahasia diri orang-orang beriman. Nah, siapakah perempuan dan lelaki yang memiliki sifat di atas?

Sekalipun seorang suami memiliki dua sifat tersebut, tetapi istrinya tidak memiliki keempat sifat itu, maka cukup sulit bagi suami untuk meningkatkan spiritual secara optimal, begitu juga sebaliknya bagi istri yang memiliki kedua sifat tersebut, sedangkan suaminya tidak disifati dua sifat itu. Dalam rangka mencari sifat yang sempurna itulah, mengapa suami berilmu menikah lebih dari satu, bahkan sampai empat. Saya pernah mendengar langsung, bahwa ada seorang kyai bertutur kepada para jama’ahnya, dalam sebuah acara Majelis Ta’lim, “saya ini, hadirin semua, tidak memiliki harta yang cukup, hanya empat “petak” sajalah saya dikasih harta oleh mertua”, apa empat petak itu celetuk seorang jama’ah, “empat petak itu, adalah empat istri”, dan alhamduliiah dengan keempat istri saya dapat memberikan bantuan dan menjalankan dakwah seperti ini, tegas kyai. Itulah salah contoh sederhana dari para aktifis poligami.

Dalam teks keagamaan, misalnya, mengapa nabi bersabda, “wahai pemuda, kalau engkau ingin kaya, maka menikahlah”, tegas nabi. Seorang teman berkata, itu kan yang dimaksud dengan kaya dalam hadits tersebut, adalah kaya hati. Bukan hati saja, tetapi kaya dengan materi, tegas saya kepadanya. Tapi, permasalahan yang harus diketahui oleh kita, pernikahan yang bagaimana—dimaksud oleh nabi—sehingga dapat menjadi kaya. Begitu juga dalam hadits lain, Muhammad SAW. berkata; “aku senang dengan umatku yang banyak keturunannya.” Tentu pernyataan nabi tidak hanya sekedar ucapan biasa, namun perkataan itu merupakan ungkapan wahyu yang benar dan dapat dibutkikan kebenarannya oleh kasat mata, tapi hanya beberapa orang saja yang dapat membuktikan kebenarang perkataan nabi dengan kasat mata.

Oleh karena itu, saya mengajak para pembaca, mari mengkaji konsep poligami secara komprehensif, dan tingkatkan nilai-nilai spiritual yang ada dalam setiap diri. Tanpa peningkatan spiritual, hidup ini tidak akan berarti. Temuilah “kemanusianmu” yang menjadi rahasia dirimu semenjak zaman ajali. Temuilah para guru suci untuk menerangkan hikmah dari sebuah pernikahan. Temukan guru sejati bagi mengungkap harta yang terpendam dalam diri. Mengapa cendikiawan muslim takut poligami?

Posted in Uncategorized | Tagged: | Leave a Comment »

Menuai “Rahmat” Bukan “Laknat”

Posted by seq13 on March 23, 2009

Rabu, 2007 Oktober 24

“Pemerintah tidak boleh tinggal diam. Pemerintah harus segera menghentikan gerakan ini, usut dan tangkap pelakunya, termasuk siapa yang berada di belakang gerakan ini semua.” (Republika, 25/10/2007).

Statemen di atas, disampaikan oleh Rais Tanfidh Nahdatul Ulama, KH. Hasyim Muzadi, yang mengomentari terhadap berkembangnya organisasi Al-Qiyadah Al-Islamiyah, pimpinan Ahmad Moshaddeq. Setelah membaca pernyataan Hasyim Muzadi tersebut, yang dimuat di harian Republika, 25/10/2007, dengan tajuk PBNU Desak Hentikan Al Qiyadah Al Islamiyah, penulis tersentak dan termenung cukup lama, dan bertanya-tanya dalam benak pikiran, mengapa statemen itu harus keluar dari mulutnya orang bijak, yang memimpin ORMAS besar, Nahdlatul Ulama? Bukankah ia juga adalah salah satu tokoh Organisasi Lintas Agama?

Sebelum mengeluarkan pernyataannya, seyogyanya ia melakukan verifikasi dengan cara dialog bersama pendiri Al Qiyadah Al Islamiyah, sehingga mengetahui secara transfaran konsep umum tentang pemahamannya terhadap ajaran Islam. Atau mungkin, ia telah berdialog dan mengkaji dengan seksama terhadap pemahaman Ahmad Moshaddeq, dan mengambil kesimpulan bahwa Al Qiyadah Al Islamiyah adalah sesat dan merusak aqidah Islam. Parameter apakah yang dipakai oleh KH. Hasyim Muzadi dalam menilai Al Qiyadah Al Islamiyyah dan organisasi-organisasi yang memiliki kesamaan dengan Al Qiyadah adalah sesat? Saya tidak mendukung dan mengingkari terhadap pemahaman-pemahaman yang disampaikan oleh Ahmed Moshaddeq maupun lainnya, tapi saya lebih senang melakukan chek and rechek kepada sumbernya, dalam menemukan sebuah permasalahan yang sedikit banyak berhubungan dengan kepentingan publik, kemudian menarik benang merahnya dengan penuh kebijaksanaan. Metode inilah yang dipakai oleh ûlul albâb. Ketidakbijaksanaan dalam menilai pemahaman keagamaan seseorang maupun dalam sebuah payung keorganisasian, akan mendatangkan efek kurang baik bagi citra diri seseorang, dan kalau orang tersebut adalah memiliki jabatan publik, maka dapat mengurangi nilai kebaikan image organisasi.

Penyesatan bukan hanya dialami oleh Al Qiyadah Al Islamiyah, melainkan oganisasi lainnya pun nyaris mengalami yang sama, misalnya saja, beberapa bulan yang lalu, perguruan Mahesa Kurung (MK) telah disesatkan oleh Majelis Ulama Indonesia Bogor, dengan alasan—salah satunya—percaya kepada perdukunan adalah perbuatan musyrik. Begitu juga dengan Ahmadiyah yang mengakibatkan kerugian bagi jama’ahnya bukan hanya sekedar mental, tapi fisik pun dialami cukup parah oleh mereka. Sebelumnya pun, Lia Edent dihukumi sesat, dan merugikan masyarakat, sehingga ia harus “nyantri” dulu beberapa saat di “pesantrren” yang biliknya dari besi. Entah, apa dan siapa lagi yang akan menjadi obyek penyesatan. Siapa dan apa motif dibalik gerakan penyesatan yang dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat, selain ormas resmi? Semoga budaya ini tidak berkembang dengan cepat di bumi para waliyullah, Indonesia. Cukup hanya di ranah Arab.

Kedalaman Ajaran Islam
Makna filosofi ajaran agama Islam cukup dalam, sehingga hanya orang-orang cerdik dan pandailah yang dapat merasakan “manisnya” ajaran Islam. Ajaran Islam, kalau boleh saya ilustrasikan dengan sebuah “gitar”, ia (Islam) dapat dipetik sesuai dengan keahliannya orang memainkan gitar. Kalau petikannya dangdut, sudah jelas yang mendengarkannya pun pecinta dangdut, dan biasanya para “pengamen” di jalanan yang memetik gitar dengan nada dangdut, mendapatkan imbalan recehan. Tapi, kalau gitar dipetik dengan petikan klasik, maka yang menikmatinya juga, adalah orang-orang tertentu yang menyukai musik klasik. Musik klasik, realitasnya, dimainkan hanya di gedung-gedung mewah, dan yang hadir pun orang-orang “menengah”; para pecinta musik klasik, bayarannya pun cukup mahal. Begitulah dengan ajaran Islam, kalau ajaran Islam hanya dipahami metode “pemahaman” orang-orang umum, yang terjadi seperti sekarang ini, semua orang merasa punya hak untuk menyampaikan risalah Islam, sehingga para da’i yang seharusnya menyampaikan tuntunan, tetapi yang ada hanyalah menjadi “tontonan”, masyarakat hanya senang dengan “guyonan” para da’i saja, sedangkan isinya sudah tidak diperhatikan lagi. Tidak heran, masyarakat yang telah mendengarkan ceramah para da’i tersebut, setelah pulang ke rumahnya, yang diceritakan di keluarganya, ialah cerita guyonannya da’i, bukan substansi ceramahnya.

Untuk meminimalisir agar tidak mudah keluar pernyataan dalam menilai sebuah pemahaman keagamaan, hendaknya setiap orang, terutama orang yang memiliki kedudukan penting di organisasi kemasyarakatan untuk melihat terhadap ajaran Islam dari empat dimensi; dimensi syariat, dimensi thariqat, dimensi hakikat, dan dimensi ma’rifat. Dengan empat dimensi, pemahaman ajaran Islam akan berakarkan ke bumi bercabangkan ke langit. Keempat dimensi disampaikan dengan benar dan tepat oleh para guru yang struktur keilmuannya sampai pada pembawa pertama, Muhammad SAW. (dengan memiliki legalitas spiritual yang amanah), nasab para guru juga dapat dipertanggungjawabkan (sesuai dengan bobot, bibit, dan bebetnya), dan kepribadiannya pun mencerminkan akhlak mulia, sebagaimana Rasulullah, menjadi suritauladan bagi umatnya.

Perbedaan pendapat yang mencuat di blantika pemikiran dan pergerakan, sehingga keluar fatwa-fatwa sesat dari organisasi resmi masyarakat, dikarenakan—mungkin, semoga ini tidak terjadi—para inohongnya kurang memiliki kualifikasi sebagai seroang yang berilmu “luhur”; mengenal hakikat sejati dirinya, dan mengenal Tuhannya dengan pasti, serta telah sampai pada tapal batas ketuhanan dengan sempurna. Mereka yang telah sempurna ilmu ketuhanannya dan kemanusiannya, salah satu cirinya, tidak pernah menghukumi seseorang dikarenakan perlakuannya atau pemikirannya, melainkan mereka memberikan pengarahan dengan penuh kebijaksanaan terhadap orang-orang yang dianggapnya tidak sejalan lagi dengan ajaran dan tuntunan Agama, dan mengedepankan etika berkomunikasi dengan penuh kesantunan. Siapakah tipologi ulama yang demikian?

Tuhan mencintai para hamba-Nya yang selalu mengedepankan kebijaksanaan, bukan mengedepankan hukuman. Karena dengan kebijaksanan-Nya, Allah melanggengkan kehidupan ini dengan penuh dinamikanya. Kalau kebijaksanan-Nya telah dicabut, maka entah apa yang akan terjadi? Para nabi dan rasul diutus ke dunia ini, dari mulai Nabi Adam as. sampai pada Nabi Muhammad SAW., adalah untuk menyampaikan kebijaksanaan. Mengapa kita tidak mengikuti jejak mereka?

Menuai “Rahmat” Bukan “Laknat”
Era reformasi yang membuka kran nilai-nilai demokrasi dan universal bagi masyarakat untuk dapat direalisasikan, ternyata tidak bisa dinikmati dengan penuh kebebasan, setiap orang bebas menyampaikan pendapat, bahkan dalam ranah keagamaan pun, setiap orang bebas menjalankannya sesuai dengan pemahaman keimanannya, tapi tetap berjalan dalam koridor NKRI. Nah, bagi umat Islam, kebebasan ini sebenarnya menjadi gerbang utama bagi meningkatkan nilai-nilai pemahaman spiritual dalam setiap dirinya. Bukannya seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Fatwa sesat, musyrik, bid’ah, khurafat, dan klaim lainnya malah dengan bebas keluar, dan masyarakat dipaksa untuk mengikuti pemahaman ajaran keagamaan yang telah ada. Di manakah kebebasan untuk meningkatkan nilai-nilai keagamaan dalam diri? Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar, dan hendaknya perbedaan tersebut disambut dengan peningkatan karya pemikiran, sebagaimana para cendikiawan sebelum tahun 1912.

Era reformasi hendaknya menjadi “rahmat” bagi masyarakat Indonesia, bukan menjadi “laknat” yang hanya dapat membawa ke alam keterpurukan; tidak mengenal kembali terhadap Tuhan sejatinya, yang dulu kala pernah bersaksi dengan-Nya, bahwa IA adalah Tuhannya, tetapi sekarang sudah melupakan eksistensi Tuhannya tersebut. Tuhan tidak di mana-mana, Tuhan hanya ada dalam diri manusia. Bukan seperti judul film sinetron, Tuhan Ada Di mana-mana. Bagaiamana kita mengingkari kedudukan Tuhan ada dalam diri kita sendiri, sedangkan Tuhan sendiri telah menyatakan dalam kitab suci-Nya; “Aku lebih dekat dari urat lehermu.” “Ingatlah Tuhanmu dalam dirimu.” Semua kitab suci agama-agama besar di dunia ini, menyatakan dengan jelas, bahwa Tuhan itu hanya ada dalam diri manusia. Titik. Wajarlah, kalau problematika multidimensi yang sedang menimpa bangsa Indonesia, salah satunya disebabkan oleh raknyat sudah tidak mengenal lagi terhadap Tuhan sejatinya. Syiar dakwah—bisa dibanggakan—berkembang dengan pesat di mana-mana, namun substansi agama sudah mengalami kekeringan. Spirit dakwah tidak lagi dengan mudah ditemukan dari mulut para da’i. Dinding agama telah hancur oleh umatnya sendiri, bukan hanya oleh umat lain. Ironis memang. Siapa yang dapat membangun kembali dinding agama?

Posted in Uncategorized | Tagged: | Leave a Comment »